Home/Siaran Pers/KPK dan Kriminalisasi Teks Laser

Fokus masalah

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan aktivis Greenpeace disebabkan teks laser yang terbaca digedung KPK. Beberapa di antara teks itu berbunyi, “#MosiTidakPercaya” dan “Berani Jujur Pecat!”. Tindakan menyorot laser teks itu berlangsung pada 28 Juni 2021, sekitar pukul 19.05 WIB, pada Gedung Merah Putih KPK. Kemudian KPK melaporkan bahwa terdapat orang di luar KPK yang telah melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di kantor KPK.

Terhadap pelaporan itu perlu dijawab dua pertanyaan ini, sebagai berikut:

  1. Apakah tindakan menyorot laser teks itu merupakan tindakan pidana atau hak konstitusional warga negara dalam rangka menegakan nilai-nilai konstitusi?;
  2. Apakah KPK dan/atau pimpinan KPK berhak atau berwenang melaporkan tindakan Greenpeace tersebut kepada aparat berwajib?

 

Pemidanaan menyorot laser berteks

Pemidanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan memidana. Lebih rinci Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa criminalization adalah sebuah proses yang dibangun untuk membuat seseorang menjadi kriminal [the process by which a person develops into a criminal, 9th edition, hlm. 431].

Namun memidanakan orang tidak dapat sesuka hati aparat penegak hukum. UU membatasi agar aparat atau penyelenggara negara tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk memidanakan pihak-pihak yang tidak disukainya. Itulah tujuan dari lahirmya asas legalitas; seseorang tidak dapat dihukum kecuali telah ditentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur, “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Dalam kasus menyorot laser berteks kepada gedung KPK sudah dapat dipastikan tidak akan ditemukan corpus delicti (the body of crime) atau asas yang memastikan bahwa perlu dipastikan memang telah terjadi perbuatan pidana sebelum seseorang dituduh telah melakukan perbuatan pidana. Sederhananya, jika seseorang dituduhkan mencuri maka sudah dipastikan dulu bahwa memang ada barang yang hilang. Jika seseorang dituduhkan membunuh maka perlu dipastikan ada mayat terlebih dulu yang penyebab kematiannya karena perbuatan seseorang.

Jika KPK mengadukan bahwa telah terjadi perbuatan yang menimbulkan terganggunya ketertiban dan kenyamanan di kantor KPK, maka pertanyaannya adalah ketertiban yang siapa yang terganggu oleh lampu laser yang bahkan tidak merusak warna gedung KPK itu. Sebab KPK dan gedung KPK bukanlah orang yang memiliki rasa nyaman dan inginkan ketertiban. Apalagi gedung KPK merupakan milik rakyat. Bukan milik orang-orang yang bekerja di KPK. Lalu, kenyamanan siapa yang sesungguhnya terganggu dengan laser yang bahkan tidak menimbulkan suara bising itu? Bandingkan dengan suara mobil atau suara para demonstran berbayar yang kerap hadir di depan KPK. Kenyamanan dan ketertiban itu sangat ambigu untuk dinilai. Kalau seluruh tindakan orang berpotensi mengganggu kenyamanan dan ketertiban maka bisa jadi KPK dapat memidanakan seluruh orang yang memberikan laporan yang bertumpuk-tumpuk kepada KPK karena bisa jadi itu tidak nyaman bagi orang-orang di KPK, khususnya pimpinan KPK.

Janggal jika aparat penegak hukum merasa terganggu dengan sinar laser berteks itu padahal lebih banyak yang mengeritik KPK sebagai lembaga dengan perbuatan dan kritik secara terbuka dengan menggunakan kalimat yang sama dengan bunyi teks laser tersebut. Apakah KPK akan melaporkan seluruh orang tersebut? Apakah tugas KPK telah berganti menjadi lembaga yang memidanakan ekspresi publik?

Melanggar konstitusi

Perlu bagi KPK, terutama Pimpinan KPK, untuk membaca dengan baik ketentuan Pasal 28 UUD 1945 bahwa, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” UUD 1945 menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikiran yang dapat berbentuk lisan, tulisan dan sebagainya (termasuk laser berteks) dijamin kemerdekaannya, maka jika Pimpinan KPK memidanakan orang dengan membatasi kemerdekaan berpikirnya itu sama saja Pimpinan KPK melanggar konstitusi.

Simak pula bahwa konstitusi merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat. Baca Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Simak pula Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak untuk menyatakan pikiran dan hati nurani tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Aneh jika KPK hendak memidanakan rakyat yang berdaulat dengan hak-haknya yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun itu.

Sebaiknya, daripada KPK melanggar hak-hak konstitusi rakyat, KPK lebih baik fokus memberantas korupsi. Masih banyak koruptor yang melarikan diri dan kasus-kasus besar tidak tertangani.

Partisipasi publik

Memberikan kritik dan masukan kepada KPK dengan berbagai cara merupakan saran dari peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 30 Tahun 2002 jo Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK mengatur peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, kritik dan masukan kepada KPK juga telah diatur di dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020 Tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Bagian Keempat terkait Profesionalisme, Pasal 7 ayat (2) huruf d mengatur bahwa setiap insan KPK dilarang merespon kritik dan saran secara negatif dan berlebihan”.

Jika KPK melaporkan masyarakat yang ingin berperan dalam pemberantasan korupsi secara pidana, maka KPK dan Pimpinan KPK melanggar ketentuan UU KPK itu sendiri. Harus dipahami pula oleh pimpinan KPK bahwa partisipasi tersebut dilidungi Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Sudah dapat dipastikan upaya aktivis Greenpeace menyorot gedung KPK dengan sinar laser merupakan upaya mereka untuk melawan korupsi demi membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Lalu, upaya Pimpinan KPK memidanakan warga negara Indonesia dalam rangka dan kepentingan siapa?


Oleh:

Dewi KEADILAN, Social Justice Mission
Prof. Susi Dwi Harijanti – Feri Amsari – Iwarkhatun Najidah – Usman Hamid – Nanang Farid Syam – Fadli Ramadhanil – Ibnu Syamsu –

CP: Ibnu Syamsu: 082228682201

Published On: July 26th, 2021Tags: