Jakarta, (6 Maret 2025) – Themis Indonesia menggelar diskusi publik dan peluncuran penelitian bertajuk “Malpraktik Penyelenggaraan Pilkada 2024 dan Disparitas Putusan MK [Mahkamah Konstitusi]” bertempat di Rumah Belajar ICW (Indonesia Corruption Watch), Kalibata. Acara ini menghadirkan lima narasumber utama yaitu Feri Amsari dan Ibnu Syamsu dari Themis Indonesia, Viktor Santosa Tandiasa dari kalangan Advokat Kepemiluan, Iqbal Kholidin dari perwakilan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Seira Tamara dari ICW. Sebagaimana tema penelitiannya, diskusi ini menyoroti berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024 yang telah selesai diajudikasi di MK Februari 2025 ini.
Ibnu menyampaikan bahwa Themis Indonesia selaku firma hukum yang terlibat aktif dalam sengketa kepemiluan di MK melakukan penelitian ini sebagai refleksi penanganan perkara Pilkada 2024 di MK, yang menurutnya memiliki beberapa catatan. Dari riset yang dilakukan, menurut Ibnu, ditemukan bahwa banyak perkara sengketa hasil Pilkada tidak dapat berlanjut ke tahap pembuktian karena berbagai kendala regulasi dan administrasi. “Dari 310 perkara yang diregistrasi di MK, mayoritas terhenti di tahap dismissal. Sebagian besar perkara tidak diterima dengan alasan tidak memiliki kedudukan hukum, permohonan kabur, atau melewati tenggat waktu. Hanya 40 perkara yang berlanjut ke tahap pembuktian, dan dari jumlah tersebut, 24 perkara berujung pada perintah pemungutan suara ulang (PSU). Dari putusan-putusan ini, sejumlah persoalan yang utama muncul adalah terkait malpraktik penyelenggara dan disparitas putusan MK dalam memutus sengketa Pilkada 2024 ini.” terang Ibnu.
Tabel Rekapitulasi Seluruh Perkara PHP Kada 2024
Ibnu memaparkan temuan Themis Indonesia bahwa terdapat ketidaksiapan penyelenggara dalam memastikan proses yang transparan dan profesional, terutama dalam verifikasi administrasi pencalonan. Beberapa kelemahan yang ditemukan mencakup kesalahan dalam verifikasi ijazah, status narapidana dan mantan narapidana, serta masa jabatan calon. KPU juga dinilai tidak selalu menyesuaikan aturan teknis dengan putusan MK, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum dalam pencalonan.
Selain itu, Ibnu juga mengatakan, “Themis Indonesia mencatat adanya disparitas dalam putusan MK, di mana perkara dengan persoalan serupa mendapat amar putusan yang berbeda. Misalnya, dalam kasus diskualifikasi akibat ijazah, ada daerah di mana pasangan calon langsung didiskualifikasi dan partai diberi hak mengganti calon, sementara dalam kasus lain, pasangan calon dipertahankan. Ketidakkonsistenan juga terjadi dalam perkara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), di mana dalam satu kasus pasangan calon didiskualifikasi, tetapi dalam kasus lain, meskipun TSM terbukti, pasangan calon tetap dibiarkan mengikuti Pilkada.”
Menurut Ibnu, ketidakkonsistenan putusan MK ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Themis Indonesia merekomendasikan reformasi regulasi, peningkatan profesionalisme penyelenggara, serta penerapan standar yang seragam dalam putusan MK, agar Pilkada dapat berjalan lebih transparan dan berkeadilan.
Dari 26 perkara yang kabulkan sebagian, rincian sebaran nya terdapat di berbagai daerah, tersebut di setiap provinsi, sebagaimana peta berikut ini:
Dari putusan-putusan yang dinyatakan mengandung disparitas, salah satunya adalah terhadap Putusan MK No. 260 Tahun 2025 Kab. Boven Digoel dan Putusan MK No. 100 Tahun 2025 Kab. Belu. Viktor Santosa, advokat sekaligus penggiat kepemiluan, menyoroti diskualifikasi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana militer serta perbedaan pendekatan MK dalam memutus perkara serupa.
Calon bupati Kab. Boven Digoel diusung yang didiskualifikasi adalah mantan terpidana militer akibat pelanggaran indisipliner pada tahun 2005. Menurut Viktor, sejak itu, ia telah menjalani masa jeda 20 tahun, bahkan telah dua kali terpilih sebagai anggota DPRD. Dalam pendaftaran Pilkada 2024, calon tersebut telah melampirkan keterangan bebas pidana dari Pengadilan Negeri (PN), sesuai dengan PKPU dan UU Pilkada. Namun, MK justru menyatakan calon tidak memenuhi syarat karena tidak mencantumkan putusan militer, meskipun tidak ada kolom khusus dalam formulir pendaftaran.
Viktor menyoroti ketidakkonsistenan MK dalam hukum acara, terutama terkait keterbatasan waktu bagi ahli untuk memberikan keterangan serta perbedaan perlakuan antar-panel dalam mendalami bukti. Dalam perkara lain, panel 1 dan 3 sepakat bahwa mantan terpidana dengan ancaman pidana di bawah 5 tahun cukup menjalani masa jeda 5 tahun sebelum dapat mencalonkan diri (putusan MK terkait Pilkada di Kab. Pasaman dan Kab. Belu). Namun, panel 2 mengambil sikap berbeda, dengan langsung mendiskualifikasi calon tanpa mempertimbangkan jeda waktu yang telah dilalui.
“Bagaimana MK bisa membuat putusan tanpa dasar hukum yang jelas, hanya dengan melompat ke asas jujur dan adil? Apakah bisa membuat suatu putusan tanpa menggunakan dasar hukum UU atau PKPU lalu melompat ke konstitusi? Karena MK sendiri yang mengatakan bahwa terlepas dari adanya pasal sekian, MK melihat adanya intensi ketidakjujuran, sehingga berdasarkan asas jujur dan adil, calon didiskualifikasi” tutup Viktor.
Perubahan Tren Penanganan Perkara dari TSM ke Persyaratan
Hal yang dibicarakan dalam diskusi juga terkait perubahan tren dalam penanganan sengketa pilkada di MK pada tahun 2024 ini. Feri Amsari mengungkap bahwa MK kini lebih fokus pada permasalahan administratif dalam pencalonan, sementara dugaan pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) semakin diabaikan Menurutnya, banyak kasus dugaan TSM tidak mendapatkan ruang pembuktian yang cukup di MK. Bahkan dalam beberapa kasus, calon yang berpotensi melakukan pelanggaran TSM tidak melaporkan perkara mereka ke MK, sehingga dugaan kecurangan terabaikan begitu saja. “Kalau tren ini terus terjadi, strategi memenangkan Pilkada bisa berubah menjadi ‘pastikan Anda menang dan pastikan lawan tidak mengajukan sengketa’,” ucap Feri.
Feri juga menyoroti ketidakpastian hukum terkait syarat pencalonan kepala daerah. Ia mengkritisi diskualifikasi calon yang dianggap tidak memenuhi syarat administratif, padahal banyak kasus serupa yang mendapatkan perlakuan berbeda. Salah satu contoh yang diangkat adalah kasus Boven Digoel, di mana seorang calon yang telah menjadi sipil tetap didiskualifikasi karena rekam jejaknya di militer. Ia mempertanyakan bagaimana MK menilai keterpenuhan syarat secara adil. “Dalam formulir pendaftaran, calon harus mencentang ‘tidak pernah dipidana berdasarkan Surat Keterangan PN’. Jika itu yang diminta, lalu mengapa MK mempermasalahkan putusan pengadilan militer yang tidak ada dalam formulir?” katanya. Menurutnya, ketidakkonsistenan ini sangat merugikan calon yang tidak memiliki latar belakang hukum. Jika mereka mengisi formulir sesuai yang diminta, tetapi kemudian dinilai berbohong karena tidak mencantumkan sesuatu yang tidak diminta, maka ada celah besar dalam standar verifikasi. Selain itu, Feri juga menkritisi perbedaan dalam penegakan sanksi. Ada kasus di mana calon langsung didiskualifikasi, sementara di tempat lain, MK hanya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) tanpa mendiskualifikasi calon. “Harus ada penjelasan resmi dari MK: apa bedanya? Apa standar dan alat ukur yang digunakan?” tegasnya.
Selanjutnya, hal yang menjadi perhatian adalah keterlibatan aparat dalam Pilkada yang tidak pernah dibuka secara mendalam di MK. Beberapa daerah memiliki indikasi keterlibatan aparat dalam pemenangan calon, tetapi MK tidak meminta sidang pembuktian lebih lanjut. Hal ini menimbulkan dua dampak besar: pertama, memberi kesan bahwa keterlibatan aparat tertentu akan selalu berujung pada kemenangan tanpa risiko diperiksa; kedua, aparat yang dituduh terlibat tidak memiliki kesempatan untuk menetralisir keadaan atau membela diri. Ia mencontohkan kasus di beberapa daerah, termasuk Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dimana aparat diduga terlibat dalam pengondisian hasil Pilkada. “Jika aparat ternetu membuat indeks kerawanan Pilkada sendiri, bukan dari Bawaslu, apa motifnya? Kenapa Mahkamah tidak bertanya lebih jauh? Kenapa ada daerah yang jumlah aparatnya diturunkan smapai 21 ribu personel dalam satu wilayah, tanpa ada evaluasi dari MK?” katanya.
Kepastian Hukum Acara Penanganan Perkara di MK
Feri juga mengkritik ketidakpastian hukum acara di MK, yang sering berubah secara tiba-tiba. Ia mencontohkan bagaimana aturan perbaikan permohonan dalam sengketa Pilpres berubah antara 2019 dan 2024, mencerminkan pola inkonsistensi MK dalam menerapkan hukum acara. “Kita mencari kepastian hukum di lembaga yang bahkan tidak memiliki kepastian” ujarnya. Ia juga menyoroti bagaimana dalam sidang sengketa Pilkada, tidak ada kesempatan bagi pihak-pihak untuk melakukan jawaban balik terhadap keterangan saksi dan ahli, padahal ini merupakan prinsip dasar dalam hukum acara peradilan.
Menurutnya, salah satu akar masalah ini adalah ketiadaan Undang-Undang Hukum Acara MK. Saat ini, hukum acara MK hanya diatur dalam UU MK dan selebihnya dalam Peraturan MK, yang memungkinkan MK mengatur dirinya sendiri tanpa pengawasan ketat. “Kalau hukum acara diatur hanya oleh MK sendiri, tanpa pengawasan eksternal, maka akan selalu ada ruang untuk perubahan aturan yang tidak konsisten,” tegasnya.
Sebagai solusi, Feri menegaskan bahwa MK harus melakukan evaluasi dan membutuhkan perbaikan mendasar dalam hukum acaranya. Ia mengusulkan harus arus ada Undang-Undang Hukum Acara MK, sehingga MK tidak bisa seenaknya mengubah aturan berdasarkan kasus per kasus. Sidang pembuktian dan putusan harus dilakukan dalam pleno, bukan hanya diputus dalam panel kecil tanpa mekanisme transparan. Kemudian terkait standar dalam penanganan kasus TSM dan syarat pencalonan harus jelas dan konsisten, sehingga tidak ada lagi putusan yang bertentangan dalam kasus serupa. Perubahan on the spot yang tidak berkesimpulan perlu dipertanyakan dan dijelaskan oleh hakim MK, karena penting untuk pihak- pihak mengelaborasi fakta yang ditemukan selama persidangan.
Tiga catatan Perludem, KPU yang Tidak Kompeten dan Besarnya Biaya PSU
Iqbal Kholidin dari Perludem menyoroti beberapa aspek penting terkait manajemen kepemiluan yang muncul dalam proses PHPU Pilkada kali ini. Ada tiga hal utama yang menjadi perhatian menurutnya:
- Salah satu pertanyaan besar adalah apakah MK semakin progresif dalam menangani perkara, terutama dalam memutus pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Putusan MK di beberapa perkara menunjukkan kecenderungan untuk lebih berani dalam menentukan PSU di berbagai tingkatan, meskipun di sisi lain terdapat kendala waktu yang menyebabkan beberapa pertimbangan hukum berubah dalam prosesnya.
- Perludem menilai ada kemunduran dalam tata kelola penyelenggaraan pemilu. Catatan-catatan minor yang muncul dalam proses pemilu sering kali berujung pada konsekuensi serius, seperti pemberlakuan PSU di beberapa daerah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang muncul dalam penyelenggaraan bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi juga berkaitan dengan lemahnya perencanaan oleh penyelenggara pemilu.
- Kelalaian dan pengabaian oleh penyelenggara pemilu pada tahapan verifikasi pencalonan. Dalam beberapa kasus, persoalan ini seharusnya dapat diantisipasi lebih awal, tetapi justru masuk ke dalam persidangan karena lemahnya peran lembaga pengawas pemilu. Kesalahan dalam verifikasi administrasi yang berulang menandakan adanya kelalaian yang tidak hanya merugikan peserta pemilu tetapi juga masyarakat luas.
Sementara itu, Seira Tamara dari ICW menyampaikan kritiknya terkait Peraturan KPU (PKPU) yang tidak progresif. Menurutnya, salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kekacauan ini adalah ketidakcermatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menjalankan tugasnya. Salah satu contohnya adalah perubahan aturan mengenai sanksi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Jika sebelumnya pasangan calon yang tidak melaporkan dana kampanye dapat didiskualifikasi, pada aturan tahun 2024 hanya diberi sanksi penundaan pelantikan sementara. ICW menilai ini sebagai kemunduran serius yang menunjukkan bahwa pelaporan dana kampanye tidak lagi dianggap sebagai aspek esensial dalam menjaga integritas pemilu.
Selain isu dana kampanye, ICW juga mengkritik KPU karena tidak cermat dalam menelaah persyaratan pencalonan. Dalam beberapa kasus, persyaratan formil pasangan calon baru diketahui bermasalah setelah adanya permohonan sengketa di MK. Padahal, sejak awal proses pencalonan, sudah ada laporan masyarakat mengenai kejanggalan, seperti status hukum calon kepala daerah. Namun, KPU tidak melakukan klarifikasi lebih lanjut dengan alasan keterbatasan waktu. Akibat berbagai kelalaian tersebut, banyak daerah terpaksa melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU), yang berkonsekuensi pada pemborosan anggaran. ICW mencontohkan kasus di Kabupaten Tasikmalaya, di mana biaya PSU diperkirakan mencapai Rp40-60 miliar. Dengan anggaran sebesar itu, seharusnya ada banyak kebutuhan lain yang dapat diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat. Namun, ICW juga menegaskan bahwa meskipun PSU menelan anggaran besar, hal ini tetap diperlukan untuk melindungi hak politik masyarakat dalam mendapatkan kepala daerah yang berintegritas. Hanya saja, jika sejak awal penyelenggaraan dilakukan dengan lebih baik, seharusnya PSU tidak perlu terjadi dalam skala yang besar seperti saat ini. ICW memandang bahwa masalah yang terjadi bukan sekadar kesalahan teknis atau kelalaian semata, melainkan telah menjadi pola berulang dalam setiap pemilu. Bahkan, dalam penyelenggaraan Pilpres dan Pileg sebelumnya, KPU juga membuat regulasi yang dinilai “nyeleneh” dan bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu. Oleh karena itu, ICW menilai bahwa KPU memiliki kontribusi besar dalam berbagai permasalahan yang muncul di Pemilu 2024
Dalam sesi tanya jawab pada diskusi ini, berbagai kritik tajam muncul terhadap MK, terutama mengenai ketidakpastian hukum dan penerapan Pasal 158 UU Pilkada tentang ambang batas syarat sengketa di MK secara inkonsisten, menyoroti banyaknya perkara yang harus diselesaikan MK dalam waktu yang sangat singkat, yang membuat putusan terkesan tergesa-gesa dan tidak konsisten dan semakin bergesernya kewenangan MK.
—–
Untuk mendownload penelitian lengkap yang dilaunching ini silahkan klik di sini: Malpraktik Penyelenggaraan Pilkada 2024 dan Disparitas Putusan MK